Petenis peringkat tiga dunia Jessica Pegula memasuki musim tanah liat 2024 dengan energi baru setelah mencatatkan gelar perdananya di lapangan tersebut pada Charleston Open pekan lalu. Kemenangan bersejarah ini menjadi momentum penting bagi petenis Amerika Serikat itu, yang tahun lalu harus melewatkan awal musim tanah liat akibat cedera tulang rusuk yang mengganggu performanya.
Pegula, yang dikenal sebagai salah satu pemain paling konsisten di tur WTA dalam beberapa tahun terakhir, mengakui bahwa gelar di Charleston memberinya kepercayaan diri ekstra. “Ini benar-benar spesial karena lapangan tanah liat bukanlah permukaan alami bagi saya,” ujarnya dalam konferensi pers jelang Stuttgart Open. “Tapi kemenangan ini membuktikan bahwa kerja keras saya selama ini membuahkan hasil.”
Prestasi Pegula di lapangan tanah liat sebenarnya sudah mulai menunjukkan tren positif sebelum gelar Charleston. Pada 2022, ia mencapai final Madrid Open, salah satu turnamen Premier Mandatory di kalender WTA. Tahun berikutnya, meski masih dalam fase pemulihan cedera, ia berhasil melaju hingga perempat final di turnamen yang sama. Catatan ini menunjukkan perkembangan signifikan dalam permainannya di permukaan yang selama ini dianggap bukan favoritnya.
“Tahun lalu di periode yang sama, saya justru melewatkan banyak turnamen karena cedera. Sekarang saya merasa jauh lebih segar dan siap secara fisik maupun mental,” tambah Jessica Pegula, yang kini fokus mempersiapkan diri untuk turnamen-turnamen besar menyambut French Open.
Gelar Charleston menjadi yang kelima dalam karier Pegula, tetapi yang pertama di lapangan tanah liat. Prestasi ini sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai salah satu petenis dengan permainan paling serba bisa di tur saat ini. Yang menarik, kemenangan ini datang setelah ia memutuskan untuk tidak membawa pelatih utamanya, David Witt, selama turnamen di Charleston – sebuah keputusan berani yang ternyata membuahkan hasil.
Analisis permainan Pegula di Charleston menunjukkan beberapa peningkatan signifikan. Pertama, kemampuannya dalam mengatur ritme permainan di lapangan lambat ini semakin matang. Kedua, pukulan forehand-nya yang sudah menjadi senjata andalan terlihat lebih bervariasi dengan penambahan topspin yang efektif. Ketiga, mentalitasnya dalam menghadapi titik-titik kritis tampak lebih tenang dibanding musim-musim sebelumnya.
“Kunci saya adalah tidak memaksakan permainan. Di tanah liat, Anda harus lebih sabar dan pintar memilih kesempatan untuk menyerang,” ungkap Pegula tentang penyesuaian permainannya. Pendekatan ini terbukti efektif ketika ia mengalahkan petenis-petenis spesialis tanah liat seperti Danielle Collins dan Maria Sakkari di Charleston.
Persiapan Pegula menghadapi musim tanah liat tahun ini juga lebih matang dari segi fisik. Setelah cedera tahun lalu, ia dan timnya menyusun program latihan khusus untuk memperkuat daya tahan tubuh dan menghindari risiko cedera berulang. “Kami benar-benar mempelajari jadwal turnamen dengan cermat tahun ini untuk memastikan saya bisa tampil maksimal di turnamen-turnamen besar,” jelasnya.
Dengan French Open sebagai puncak musim tanah liat, Pegula kini memiliki peluang emas untuk mencetak sejarah baru. Peringkatnya yang tinggi dijamin akan memberinya seed bagus di Paris, sementara kepercayaan diri dari gelar Charleston menjadi modal berharga. Jika berhasil konsisten di turnamen-turnamen berikutnya, bukan tidak mungkin Pegula bisa menantang dominasi Iga Swiatek di permukaan tanah liat.
“Target saya sederhana: terus meningkatkan permainan dan konsisten di setiap turnamen. Hasil akan mengikuti dengan sendirinya,” tutup Pegula dengan sikap rendah hati yang menjadi ciri khasnya.